BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masyarakat patrilineal seperti suku kaera desa Bunga Bali kecamatan
pantar Timur kabupaten Alor, Kedudukan perempuan dalam hukum adat berbeda
dengan ketentuan dalam hukum nasional, terutama soal warisan. Anak perempuan
bukan sebagai ahli waris tetapi dapat menerima bagian harta warisan sebagai
pemberian.
Banyak kejadian dalam kehidupan yang menunjukan kepincangan antara
Laki-laki dan Perempuan. Dalam kondisi seperti ini dapat dipahami karena latar
belakang pemikiran tentang kuasa dan kehidupan adalah berdasarkan pemikiran
patriarkhal. Pemikiran tersebut telah mendasari sistem kemasyarakatan dan
kebudayaan.
Banyak pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa pada masa lalu kedudukan seorang perempuan tidak dianggap
penting. Perempuan selalu tidak diperhitungkan keberadaannya. Kedudukan lelaki
adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior atau dengan kata lain
laki-laki dianggap sebagai kepala atau menentukan segala sesuatu dalam
masyarakat sedangkan perempuan diposisi bawah yang hanya mendengar dan
melakukan apa yang laki-laki perintahkan. Hal ini karena budaya patriakhal yang dianut oleh masyarakat sangat
dominan.
Perlindungan hak wanita atas kesamaan di depan hukum, diakui dalam
konstitusi tertulis Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28D
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
dalam pasal ini, istilah “setiap orang” yang berarti bahwa perlakuan yang sama
di hadapan hukum berlaku bagi setiap orang, pria dan wanita, tanpa pembedaan
jenis kelamin.
Selain itu, dalam pasal 27 ayat (1) juga dinyatakan bahwa “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Dalam
pasal 27 ayat (1) juga menggunakan istilah “segala warga negara”, yang berarti
kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan tidak mengenal pembedaan jenis
kelamin dan gender
Kebudayaan Kaera kampung Abangiwang suku Kaera ketidakadilan pembagian harta atau warisan merupakan tradisi yang tidak
bisa ditinggalkan. Ketidakadilan pembagian harta warisan dalam masyarakat Kaera kampung Abangiwang suku Kaera didasarkan pada keturunan patrilinear dimana anak Laki-laki sulung yang
memperoleh harta paling besar . Hal ini didasarkan pada pemahaman Kaera kampung Abangiwang suku Kaera :
Anak laki-laki pertama yang akan memberi keturunan pertama bagi keluarga
Anak laki-laki pertama yang akan menggantikan posisi bapak atau biasanya
dalam masyarakat Kaera kampung Abangiwang suku Kaera anak Laki-laki pertama dikenal
dengan sebutan “Sohkit atau tei er abang menakh”
Anak laki-laki pertama yang akan bertanggung jawab untuk mengurus
adik-adiknya
Beberapa hal yang disebutkan di atas yang
mendasari pemikiran orang Kaera kampung Abangiwang suku Kaera dalam pembagian warisan. Sedangkan yang menjadi alasan mengapa anak
Perempuan tidak mendapat warisan sekalipun anak Perempuan sulung dalam keluarga
karena anak perempuan tidak akan memberi keturunan bagi keluarga Puling, perempuan akan menikah dengan
Laki-laki dari Keluarga lain.
Sesuai adat suku Kaera, anak laki-laki adalah ahli waris
yang menerima pusaka baik itu peninggalan dari nenek moyang maupun hasil
keringat orang tuanya, sedangkan anak perempuan tidak mendapat warisan. Dengan
demikian terjadi kecemburuan sosial dalam keluarga.
Di Desa Bunga Bali, penulis temukan masalah pembagian harta warisan yang
tidak seimbang antara anak laki-laki dan anak Perempuan. Ketika seorang anak
Perempuan dalam masyarakat Bunga Bali belum menikah seluruh tanggungjawab
diambil alih oleh Ayah dan Ibu.
Kedudukan kaum perempuan atau umukh
walo “ artinya perempuan yang siap di beli atau di belis” , yang ketika
dipinang oleh suku lain disebut oleh keluarga pemberi “ dazing walo” sementara keluarga yang menerima perempuan tersebut
biasa di sebut “panang walo”. Setelah
perempuan tersebut di belis istilahnya “ghai
pino”,sebelumnya dilakukan sebuah upacara adat yang dikenal dengan istilah
“gesero” atau peminangan atau kasih pakai dia”. Kain pinangan
dimasukan di kepala perempuan yang mau dipinangi. Setelah semuanya selesai maka
perempuan tersebut patut menjalankan semua aturan atau hal - hal yang berlaku
di suku tersebut. Hal ini menurut pandangan adat suku kaera jika perempuan tersebut sudah di belis artinya lunas dibayar,
pandangan ini yang membuat derajat perempuan disetarakan dengan harga, yang
tentunya sangat bertentangan dengan kodrati manusia.
Istilah tentunya sangat membuat kedudukan perempuan menurut adat suku kaera sangat memiliki peran yang
terlihat derajat perempuannya tidak sama dengan derajat laki-laki. Kaum
peremuan atau umukh walo, ditengah –
tengah masyarakat dalam urusan apapun tidak diijinkan untuk berbicara karena
tugasnya hanya melayani : antar sirih pinang atau “bui mat” dalam hal ini melayani undangan atau “tuwalo”. Kaum perempuan juga dikenal dengan “ dapur wal” atau tukang dapur.
Kedudukan perempuan secara hukum adat suku kaera desa Bunga Bali sangat tidak seimbang artinya hak perempuan
tertindas dengan kekuatan hukum adat. Perempuan dinomorduakan, peran perempuan
dibatasi haknya. Ada istialah “ ing umukh
walo, ing nabla wang tutuk chowo?. Ing na wad nukh wang pini di, egu egat am
geg. Tarang-tarang di ing damang getlah
tamiso. Artinya “ kalian perempuan, apa yang bisa kalian omong? Sebaik
apapun, setinggi apapun pekerjaanmu, itu milik keluarga lain dan itu tidak bisa
membantu keluarga kami. Apapun peran perempuan, setinggi apapun pekerjaan,
perempuan tetap terpaku di tungku dapur”.
Perempuan secara adat kaera tidak
dijinkan untuk dicontohi, karena hal itu
hanya bisa melecehkan kaera
mengecilkan martabat laki-laki dalam keluarga. Keluarga suku kaera akan merasa gengsi jika mengikuti
apa yang disarankan oleh perempuan.
Penulis mengamati bahwa masalah
ini menimbulkan ketidak adilan kesejahtraan kaum laki-laki dan perempuan, maka
penulis tertarik melakukan penelitiaan ilmiah tentang bagaimana ketidakadilan dalam
menghadapi persoalan ini. Untuk itu penulis kemas dalam judu KEDUDUKAN KAUM PEREMPUAN DALAM
HUKUM ADAT SUKU KAERA –
ABANGIWANG (Studi kasus Di Suku Chaera Abangiwang Desa Bunga Bali Kecamatan
Pantar Timur Kabupaten Alor, Tahun 2016/2017) .
B. PERUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana kedudukan perempuan dalam
hukum adat suku Kaera kampung
Abangiwang suku Kaera di Desa Bunga Bali kecamatan Pantar Timur kabupaten Alor dan
upaya pemerintah untuk merubah pola pikir masyarakat akan pentingnya kedudukan
antara anak laki-laki dan anak perempuan?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
- Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan ini
sebagai berikut:
1. Untuk mencari tahu mengapa suku kaera
Abangiwang menganggap peran perempuan tidak terlalu penting atau menomorduakan
kaum perempuan di mata hukum adat suku kaera
2. Untuk mencari tahu apakah ada pengaruh adat suku kaera terhadap warisan perempuan
3. Untuk mencari tahu apakah ada upaya pemerintah untuk mengubah
pola pikir masyarakat terhadap pentingnya kedudukan antara anak laki-laki dan
perempuan
4. Untuk mencari tahu apakah ada perubahan yang terjadi saat
diadakannya pembianaan terhadap pentingnya kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan
- Kegunaan
Adapun kegunaan dari penelitian ini
sebagai berikut :
1.
Sebagai bahan informasi bagi pihak jurusan tentang kondisi adat yang
berkembang di masyarakat
2. Untuk memberikan
sumbangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sosial
budaya dalam kaitannya dengan kedudukan perempuan menurut hukum adat
3. Sebagai informasi bagi para
majelis lebih berperan menyuarakan kenabian terhadap ketidak adilan yang
terjadi dalam masyarakat khusus Desa Bunnga Bali Kecamatan Pantar Timur
Kabupaten Alor
4. Sebagai bahan
informasi budaya bagi generasi yang akan datang termasuk para peniliti
selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
HAK-HAK PEREMPUAN
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang perempuan
terkadang mendapatkan diskriminasi dan anggapan sebelah mata atas dirinya.
Diskriminasi dapat terjadi baik dalam kehidupan pekerjaan, keluarga (antara
suami dan istri), hingga kehidupan yang dilaluinya dalam masyarakat. Dengan
adanya diskriminasi inilah maka kemudian banyak pihak terutama perempuan
sendiri menyadari pentingnya mengangkat isu hak perempuan sebagai salah satu
jenis HAM[1]
yang harus dapat diakui dan dijamin perlindungannya. Adanya kesadaran ini maka
kemudian perlu diketahui terlebih dahulu dengan apa yang dimaksud dengan hak
asasi perempuan.
Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh
seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang
perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya
dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Dalam pengertian
tersebut dijelaskan bahwa pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang
perempuan terdapat dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia.
System hukum tentang hak asasi manusia yang dimaksud adalah system hukum hak
asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah internasional maupun nasional.
Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat dalam sistem hukum tentang hak
asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan
penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat pengaturan tersebut menjadi
berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal ini dapat dijadikan dasar
sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak perempuan.
Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia,
kita dapat menemukan jenis-jenis hak-hak perempuan yang terdapat dalam system
hukum tersebut. Jenis hak-hak perempuan yang ada, antara lain:
1.
Hak-Hak Perempuan di Bidang Politik
Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan
juga mempunyai hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak
perempuan yang diakui dan dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan
hak-hak perempuan di bidang politik, antara lain :
a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan
dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan
kebijakan.
b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
berkala yang bebas untuk menentukan wakil rakyat di pemerintahan
c. Hak untuk ambil bagian dalam
organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dan himpunan-himpunan yang
berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik negara tersebut.
Dasar
hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik tersebut dapat ditemukan dalam
instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa
yang umum dalam Pasal 21 DUHAM[2]
butir 1 dan 2, Pasal 25 ICCPR,. Sedangkan dasar hukum yang lebih khusus
menyebutkan hak-hak perempuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 7 dan 8
CEDAW[3],
Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan.
Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan tersebut
dapat pula ditemukan dalam instrumen nasional kita. Dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat ditemukan dalam Pasal 46 yang
berbunyi sebagai berikut : “sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan
anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif,
yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang
ditentukan”.
Berdasarkan pandangan di
atas penulis berasumsi bahwa perlu diadakan pembinaan terhadap masyarakat suku kaera
menyangkut dengan kedudukan perempuan mestinya sama dan sederajat
berdasarkan hak asasi manusia, undang-undang dan jugan hukum Tuhan melalui Alkitab.
Masyarakat kaera perlu dinasihati biasa dalam istilah “ wom geno”
, disadarkan dengan ayat-ayat Alkitab yang mendukung atau sur tenau / sur
mosoing”
Menurut pendapat penulis,
melalui pemahaman-pemahan tersebut dengan sendirinya masyarakat akan terus sadar
akan pemahaman bahwa ternyata kedudukan perempuan dan laki-laki sama dihadapan
hukum dan dihadapan Allah.
2.
HAK-HAK PEREMPUAN UNTUK MELAKUKAN
PERBUATAN HUKUM
Sebelum dikenalnya hak-hak atas perempuan dan
keberadaan perempuan yang sederajat dengan pria, perempuan selalu berada di
bawah kedudukan pria. Hal ini seringkali terlihat terutama pada keadaan dimana
perempuan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan
persetujuan atau di bawah kekuasaan pria. Keadaan inilah yang kemudian
menimbulkan kesadaran bagi para perempuan bahwa setiap perempuan mempunyai
kedudukan yang sama dengan laki-laki di mata hukum, sehingga kemudian muncul
salah satu hak perempuan lainnya yang diakui baik di tingkat internasional
maupun nasional.
Dasar hukum dalam instrumen internasional atas
hak-hak perempuan ini secara umum dapat ditemukan dalam Pasal 7 DUHAM, Pasal 14
ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
dan secara khusus dalam Pasal 2 dan 15 CEDAW. Dalam instrument nasional dasar
hukum atas hak-hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 50 UU HAM yang berbunyi “wanita
yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum
sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.
Sehubungan dengan jaminan atas hak-hak perempuan
yang berhubungan dengan hukum dan masyarakat, terdapat beberapa permasalahan
yang menimpa perempuan di Indonesia diantaranya
1. Kekerasan terhadap
perempuan
2. Perempuan sebagai
korban perkosaan
3. Perempuan sebagai
pekerja seks komersial dalam praktek prostitusi
4. Perempuan dan aborsi
5. Perempuan dan
pornografi dan pornoaksi
6. Perdagangan
perempuan
Menurut pendapat penulis apabila terjadi
kekerasan terhadap perempuan perlu ditindaklanjuti sebagai ajang proses
pembelajaran hukum. Penanganannya melalui proses persuasif melalui pendekatan.
Melalui pendekatan perlu adanya pembinaan dan pemberitahuan terhadap tindakan
yang melanggar hukum, dan imbasnya akan berurusan dengan hukum. Jika tidak
direspon dan terus menurus terjadi pelanggaran maka pembelajaran yang terus
dilakukan adalah menyerahkan hal tersebut kepada pihak hukum yang berwewenang.
3.
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM IKATAN
/PUTUSNYA PERKAWINAN
Dalam sebuah perkawinan adakalanya dimana pasangan
suami istri terpaksa harus melakukan perceraian atau yang disebut dengan
putusnya perkawinan. Atas putusnya perkawinan ini setiap pihak dari perkawinan
mempunyai hak dan kewajiban yang sama terutama jika atas perkawinannya
menghasilkan anak-anak. Selain itu kedua belah pihak juga mempunyai hak yang
sama untuk mendapat bagian harta bersama dengan persentase yang adil.
Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen
internasional dapat ditemukan dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 16 butir (c)
sampai dengan butir (g) CEDAW. Dan dalam instrumen nasional dapat ditemukan
dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU HAM yang berbunyi sebagai berikut :
(2) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik
bagi anak”.
(3) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Menurut tanggapan suku Kaera ketika perempuan di lepas ke suku
lain maka semua yang berhubungan dengan warisan sudah tidak menjadi hak
perempuan tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan alkitab dan
hukum.
Menurut
pendapat penuli, perkawinan merupakan hal yang tidak terlepas dari kedudukan
perempuan. Perempuan akan menjadi terhormat apabila menjadi simpatisan
laki-laki. Sangat menjadi sebuah pertanyaan besar apabila dalam kehidupan
perempuan sampai pada usia pernikahan tidak mendapat seseorang laki-laki.Perempuan
yang menikah sebaiknya diberi pemahaman yang kuat, dibekali secara matang agar
dapat bergumul melalui tindakan, dan juga terus berdoa agar rumah tangganya
dapat terhindar dari kasus perceraian, karena hal tersebut juga akan mengganggu
kedudukan perempuan.
Menurut
pandangan masyarakat suku kaera, laki-laki terus ditekankan atau dinasehati
oleh orang tua untuk menghindari, menrut istilah suku kaera “ pagang suai” artinya menghindari perempuan”tidak perawan”. Ikatan dalam suatu
perkawinan menurut suku kaera adalah
“tuampino” perkawinan. Dalam hal ini
“lekatan atau ikatan yang tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan aleh situasi
dan kondisi apapun.
Menurut
pandangan penulis, perempuan yang gadis terus dinasehati untuk menjaga harga
dirinya, sekali menikah untuk selamanya, sampai maut yang memisahkan.
4.
Hak perempuan di bidang profesi dan
ketenagakerjaan
Hak perempuan dalam bidang ini adalah terkait dengan
adanya hak-hak perempuan sebelum, sesaat dan sesudah bekerja. Terkait dengan
kasus yang terjadi pada Siti Hajar, maka pelanggaran atas haknya dilakukan oleh majikannya di saat ia bekerja.
Pelanggaran hak yang dilakukan majikannya terkait dengan hak perempuan di
bidang profesi dan ketenagakerjaan adalah tidak adanya pembayaran gaji terhadap
Siti Hajar setelah 34 bulan bekerja kepada majikannya.
Hal ini tentunya bertentangan dengan dasar hukum
atas hak perempuan tersebut, yaitu pada Pasal 11 butir (d) CEDAW yang
menyebutkan bahwa “setiap wanita dan pria mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan pengupahan yang sama, termasuk semua kemanfaatan dan atas perlakuan
yang sama, dalam hal pekerjaan yang bernilai sama, seperti halnya persamaan
perlakuan di dalam penilaian mengenai kualitas pekerjaan”. Dengan demikian
seharusnya majikan dari Siti Hajar dapat membayarkan upah yang seharusnya
menjadi hak darinya. Karena atas haknya tersebut Siti Hajar telah dijamin dan
diakui oleh peraturan dalam lingkup internasional.
Selain itu bila melihat instrumen hukum
nasional kita, maka terkait dengan kasus Siti Hajar tersebut peraturan
perundang-undangan yang terkait adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Dimana pada Pasal 88 ayat (1) disebutkan bahwa ”setiap
pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”. Dengan kata lain setiap pekerja baik itu laki-laki
dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan imbalan atas
pekerjaannya dalam bentuk gaji. Pembayaran upah atau gaji ini tentunya
merupakan kewajiban dari pengusaha/ majikan sebagai pihak yang memperkerjakan
mereka dan mendapatkan keuntungan dari keberadaan mereka. Sehingga sudah
seharusnyalah majikan dari Siti Hajar tersebut membayar gajinya selain karena
itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhinya hal tersebut juga merupakan hak
dari pekerja yang harus dihormati dan dijaminkan oleh mereka.
B.
PERANAN PEREMPUAN
DALAM ALKITAB
Perempuan dalam bahasa
Ibrani Isysya dalam bahasa Yunani Gune. Perempuan dan
lelaki sama-sama merupakan “gambar Allah” ; Maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (kej 1:27) dan
perempuan adalah penolong yang sepadan atau rekan kerja bagi laki-laki ; Manusia
itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada
segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang
sepadan dengan dia. (Kej 2:20).
wanita diciptakan menjadi
“penolong” bagi pria. Istilah “penolong. Lebih jelas diterjemahkan dengan “
penolong yang sepadan” (Kej. 2:18). Dalam pengertian ini peran wanita sebagai
penolong sangat menentukan, karena tanpa wanita, pria tidak dapat mewujudkan
dirinya sepenuhnya.
Dalam hukum Ibrani
perempuan/ibu harus dihormati ; Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya
lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Kel 20:12),
disegani; Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya dan
memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN, Allahmu. (Imamat 19:3).
Perempuan bertanggung jawab dan memegang peranan penting dalam kehidupan
keluarga mereka.Dalam hal pertalian, baik laki-laki maupun perempuan, korban
yang diberikan sama. Perempuan/ibu menghadiri pertemuan agamawi untuk ibadah,
dan membawa persembahan korbannya. Dan juga perempuan pada hari sabat
dibebaskan dari pekerjaannya ; tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN,
Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki,
atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau
hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (Kel 20:10)
Jadi sejak dari permulaan
manusia sudah diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama
ahli waris baik sebagai citra ilahi maupun pengasa atas bumi.
Menurut masyarakat suku kaera perempuan adalah bagian laki-laki
yang tidak terpisahkan dengan istilah “ pikhas
dano, pikiri wal” bagian sebelah dari diri kita, tulang rusuk kita.
Dari pandangan di atas, penulis
menyimpulkan bahwa perempuan adalah orang akan menemani laki-laki.
C. PERANAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA
Perempuan dalam bahasa Ibrani Isysya dalam bahasa Yunani Gune. Perempuan dan lelaki sama-sama merupakan “gambar Allah” ; Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (kej 1:27) dan perempuan adalah penolong yang sepadan atau rekan kerja bagi laki-laki ; Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. (Kej 2:20).
wanita diciptakan menjadi “penolong” bagi pria. Istilah “penolong. Lebih jelas diterjemahkan dengan “ penolong yang sepadan” (Kej. 2:18). Dalam pengertian ini peran wanita sebagai penolong sangat menentukan, karena tanpa wanita, pria tidak dapat mewujudkan dirinya sepenuhnya.
Dalam hukum Ibrani perempuan/ibu harus dihormati ; Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Kel 20:12), disegani; Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya dan memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN, Allahmu. (Imamat 19:3) . Perempuan bertanggung jawab dan memegang peranan penting dalam kehidupan keluarga mereka.Dalam hal pertalian, baik laki-laki maupun perempuan, korban yang diberikan sama. Perempuan/ibu menghadiri pertemuan agamawi untuk ibadah, dan membawa persembahan korbannya. Dan juga perempuan pada hari sabat dibebaskan dari pekerjaannya ; tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (Kel 20:10)
Namun kesepadanan yang asli itu menjadi rusak
oleh kejatuhan manusia dala dosa. Sebagian hukuman yang dijatuhkan Allah atas
ketidak taatan leluhur kita, ialah firman-Nya kepada perempuan: “Engkau akan
birahi kepada suami dan ia akan berkuasa atasmu”. (Kej 3:16b)
Dan kenyataan inilah yang dimanfaatkan lelaki dalam menindas perempuan.
Ø
Ester adalah perempuan yang
menyelamatkan bangsa Israel dari kebinasaan
Ø
Miryam perempuan sebagai
nabi (Kel. 15:20), Debora (Hakim-hakim 4)
Ø
Sifra dan Pua adalah
bidan yang dipakai Allah menyelamatkan anak-anak (Kel 1:25-21)
Ø
Perempuan sebagai
pemimpin dan hakim, seperti Miryam (Kel. 15:21) dam Debora (Hakim-akim 4-5)
Ø
Rut adalah perempuan yang
berani mengambil suatu keputusan (Rut 1:16)
Ø
Hana adalah perempuan yang
gigih (1 Sam. 1 :1-2 )
Dalam Perjanjian Baru,
kembali kesepadanan antara laki-laki dan perempuan dipulihkan. Sebab
Allah akan mencurahkan Roh-Nya ke dalam diri Anak-Nya dan tidak ada lagi
pendiskualifikasian berdasarkan gander/jenis kelamin.














D.
HAK ASASI PEREMPUAN
Permasalahan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi di Indonesia
merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian tidak hanya bagi pemerintah
pusat tetapi juga pemerintah daerah, hal tersebut menjadi perhatian khusus
ketika wacana reformasi akan didengungkan dan dalam perjalanan reformasi di
bidang konstitusi negara Indonesia dengan proses amandemen Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 dari pertama hingga keempat, muatan-muatan Hak Asasi Manusia menjadi
salah satu hal yang penting untuk lebih diperjelas dalam amandemen UUD 1945
karena sebelum terjadi amandemen UUD 1945, permasalahan yang menjadi perhatian
serius adalah kesewenangan negara dalam memasung hak-hak asasi warga negara
karena sangat multitafsir dan banyak ditafsirkan terbatas oleh pemerintah pada
saat itu dengan turunan peraturan perundang-undangan yang membatasi hak asasi
warga negara terutama dalam hak atas pekerjaan, hak berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan, jaminan
kemerdekaan dalam beragama dan berkepercayaan, hak memperoleh pendidikan, dan
akses terhadp sumber daya alam yang pada saat itu masih belum dipenuhi oleh
hak-haknya oleh negara.
Salah satu perhatian khusus dalam perkembangan hak asasi manusia di
Indonesia adalah tentang perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan di
Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru bahkan menjadi perhatian
yang khusus sebagaimana juga dalam hal hak asasi anak. Namun kita harus
mengakui walaupun dalam dataran instrumen hukum pengakuan hak asasi perempuan
telah mendapat perhatian khusus tetapi pada praktek di lapangan jauh dari yang
diharapakan yang merupakan salah satu perhatian khusus dalam Undang-Undang Hak
Asasi Manusia.
Hak Perempuan dimana perempuan dikategorikan dalam kelompok rentan yang
mendapat tempat khusus dalam pengaturan jaminan perlindungan hak asasi manusia.
Pada umunya pemberian hak bagi perempuan sama dengan hak-hak lain seperti yang
telah disebutkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Hak-Hak Asasi Manusia namun
dengan alasan tadi maka lebih dipertegas lagi. Asas yang mendasari hak bagi
perempuan diantaranya hak perspefktif gender dan anti diskriminasi dalam artian
memiliki hak yang seperti kaum laki-laki dalam bidang pendidikan, hukum,
pekerjaan, politik, kewarganegaraan dan hak dalam perkawinan serta
kewajibannya.
BAB III
MEODOLOGI PENELITIAN
A. LOKASI
PENELITIAN
Penelitian
ini akan dilaksanakan di desa Bunga Bali Abangiwang khususnya suku Kaera
kecamatan Pantar Timur kabupaten Alor. Alasan mendasar tempat ini dijadikan
sebagai lokasi penelitian karena kenyataan yang terjadi banyak perempuan yang
dibatasi peran atau ruang geraknya dalam segalah lini dan bidang.
B. OPERASIONAL
KONSEP
Agar dapat memperjelas konsep dari penelitian ini ,
maka penulis menjelaskan konsep ini yaitu bagaimana ketidakadilan dalam
menyamakan posisi laki-laki dan perempuan sebagai ciptaan Tuhan dalam komunitas
masyarakat dalam kedudukan perempuan ditinjau dari adat Kaera.
KONSEP
|
INDIKATOR
|
Ketidakadilan pembagian warisan dan kedudukan
perempuan marga puling menurut adat kaera suku Kaera kampung Abangiwang desa Bunga Bali kecamatan Pantar Timur
Kabupaten Alor
|
1.1.
Perempuan
|
2.1. Warisan dalam hal ini hak perempuan
2.2. kedudukan Perempuan
|
|
3.1. Program Pemerintah terhadap pemahaman yang tepat menyangkut
gender
3.2. Seminar
3.3. Penegakan aturan Gender
|
C. SUBJEK
PENELITIAN DAN TEKNIK PENARIKAN SAMPLING
a.
Subjek
Penelitian
Yang menjadi
subjek dalam penelitiasn ini adalah orang tua suku doriht yang memilki anak
perempuan
b.
Populasi dan Teknik penarikan sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Kaera
kaera desa bunga bali kecamatan pantar timur kabupaten alor
Sedangkan Penarikan sampel yaitu beberapa orang masyarakat suku Kaera kaera desa bunga bali kecamatan
pantar timur kabupaten alor berdasarkan teknik penarikan sampel acak
sebanyak 20 orang.
c.
Jenis
dan sumber Data
1.
Jeni
Data
Berdasarkan data dan keterangan yang dikumpulkan penulis maka jenis data
ini diklasifikasikan ke dalam dua jenis data yaitu:
a.
Data
Kuantitatif yaitu data yang bersifat angka-angka atau jumlah angka yang
berhubungan
dengan penelitian ini
b.
Data
kualitatif yaitu data yang bersifat penjelasan atau keterangan-keterangan
dalasm bentuk kalimat atau suku kata yang dapat dimengerti dan tidak dilanjuti
2.
Sumber
Data
a.
Data
Primer yaitu data yang diambil langsung dari lembaga atau instansi dimana
penulis mengadakan penelitian
b.
Data
Sekunder yaitu data yang diambil langsung dari data primer seperti sejarah suku
kaera desa Bunga bali
D. METODE
PENGUMPULAN DATA
Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode yang dapat
memberikan informasi yang berupa data-data dan keterangan yang meliputi:
1.
Pengamatan
2.
Wawancara
3.
Dokumentasi
E. TEKNIK
ANALISIS DATA
Tekniuk
analisa data yang akan digunakan adalah deskriptif kuantitatif yaitu semua data
yang akan diperoleh akan dideskripsikan dengan menggunakan rumusan-rumusan dan
dalam pengambilan kesimpulan akan disajikan dalam kalimat dan paragraf yang
berhubungan dengan penjelasan, keterangan-keterangan yang berhubungan dengan
hasil dari tujuan diadakannya suatu penelitia.
DAFTAR PUSTAKA
Slameto.1991.
Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Rineka cipta: Jakarta.
Ratih. 2003. Perempuan dan teater. Jakarta
Michel. Kedisiplinan dan Keadilan bagi
kaum perempuan. Bogor. 1997
Nawel, 2001. Perempuan di titik Nol.
Jakarta
Brouwer. Budaya kemiskinan perempuan,
Yogyakarta: 1998
hhtp://cempebule.blogsot.co.id/2012/kekerasan-terhadap-perempuan
warisan.htm1
[1]HAM (Hak
Asasi Manusia)
[2]
DUHAM(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)
[3] CEDAW CDAW
(Convention of Elimination of All Form of Discrimination Against Women) adalah
suatu bentuk perjanjian internasional tentang perempuan yang paling
komprehensip dalam upaya penghapusan segalah bentuk diskriminasi terhadap
perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar