Kamis, 19 Januari 2017

Kedudukan Perempuan menurut hukum adat suku kaera Abangiwang di desa Bunga Bali kecamatan Pantar Timur kabupaten Alor



  BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Pada masyarakat patrilineal seperti suku kaera desa Bunga Bali kecamatan pantar Timur kabupaten Alor, Kedudukan perempuan dalam hukum adat berbeda dengan ketentuan dalam hukum nasional, terutama soal warisan. Anak perempuan bukan sebagai ahli waris tetapi dapat menerima bagian harta warisan sebagai pemberian.
Banyak kejadian dalam kehidupan yang menunjukan kepincangan antara Laki-laki dan Perempuan. Dalam kondisi seperti ini dapat dipahami karena latar belakang pemikiran tentang kuasa dan kehidupan adalah berdasarkan pemikiran patriarkhal. Pemikiran tersebut telah mendasari sistem kemasyarakatan dan kebudayaan.
Banyak pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa pada masa lalu  kedudukan seorang perempuan tidak dianggap penting. Perempuan selalu tidak diperhitungkan keberadaannya. Kedudukan lelaki adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior atau dengan kata lain laki-laki dianggap sebagai kepala atau menentukan segala sesuatu dalam masyarakat sedangkan perempuan diposisi bawah yang hanya mendengar dan melakukan apa yang laki-laki perintahkan. Hal ini karena budaya patriakhal yang dianut oleh masyarakat sangat dominan.
Perlindungan hak wanita atas kesamaan di depan hukum, diakui dalam konstitusi tertulis Indonesia, yaitu Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28D menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan  kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” dalam pasal ini, istilah “setiap orang” yang berarti bahwa perlakuan yang sama di hadapan hukum berlaku bagi setiap orang, pria dan wanita, tanpa pembedaan jenis kelamin.
Selain itu, dalam pasal 27 ayat (1) juga dinyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Dalam pasal 27 ayat (1) juga menggunakan istilah “segala warga negara”, yang berarti kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan tidak mengenal pembedaan jenis kelamin dan gender
Kebudayaan Kaera kampung Abangiwang suku Kaera  ketidakadilan pembagian harta atau warisan merupakan tradisi yang tidak bisa ditinggalkan. Ketidakadilan pembagian harta warisan dalam masyarakat Kaera kampung Abangiwang suku Kaera didasarkan pada keturunan patrilinear dimana anak Laki-laki sulung yang memperoleh harta paling besar . Hal ini didasarkan pada pemahaman Kaera kampung Abangiwang suku Kaera :
 Anak laki-laki pertama yang akan memberi keturunan pertama bagi keluarga
 Anak laki-laki pertama yang akan menggantikan posisi bapak atau biasanya dalam masyarakat Kaera kampung Abangiwang suku Kaera anak Laki-laki pertama dikenal dengan sebutan “Sohkit atau tei er abang menakh
   Anak laki-laki pertama yang akan bertanggung jawab untuk mengurus adik-adiknya
Beberapa hal yang disebutkan di atas yang mendasari pemikiran orang Kaera kampung Abangiwang suku Kaera dalam pembagian warisan. Sedangkan yang menjadi alasan mengapa anak Perempuan tidak mendapat warisan sekalipun anak Perempuan sulung dalam keluarga karena anak perempuan tidak akan memberi keturunan bagi keluarga Puling, perempuan akan menikah dengan Laki-laki dari Keluarga lain.

Sesuai adat suku Kaera, anak laki-laki adalah ahli waris yang menerima pusaka baik itu peninggalan dari nenek moyang maupun hasil keringat orang tuanya, sedangkan anak perempuan tidak mendapat warisan. Dengan demikian terjadi kecemburuan sosial dalam keluarga.
Di Desa Bunga Bali, penulis  temukan masalah pembagian harta warisan yang tidak seimbang antara anak laki-laki dan anak Perempuan. Ketika seorang anak Perempuan dalam masyarakat Bunga Bali belum menikah seluruh tanggungjawab diambil alih oleh Ayah dan Ibu.
Kedudukan kaum perempuan atau umukh walo “ artinya perempuan yang siap di beli atau di belis” , yang ketika dipinang oleh suku lain disebut oleh keluarga pemberi “ dazing walo” sementara keluarga yang menerima perempuan tersebut biasa di sebut “panang walo”. Setelah perempuan tersebut di belis istilahnya “ghai pino”,sebelumnya dilakukan sebuah upacara adat yang dikenal dengan istilah “gesero” atau peminangan atau kasih pakai dia”. Kain pinangan dimasukan di kepala perempuan yang mau dipinangi. Setelah semuanya selesai maka perempuan tersebut patut menjalankan semua aturan atau hal - hal yang berlaku di suku tersebut. Hal ini menurut pandangan adat suku kaera jika perempuan tersebut sudah di belis artinya lunas dibayar, pandangan ini yang membuat derajat perempuan disetarakan dengan harga, yang tentunya sangat bertentangan dengan kodrati manusia.
Istilah tentunya sangat membuat kedudukan perempuan menurut adat suku kaera sangat memiliki peran yang terlihat derajat perempuannya tidak sama dengan derajat laki-laki. Kaum peremuan atau umukh walo, ditengah – tengah masyarakat dalam urusan apapun tidak diijinkan untuk berbicara karena tugasnya hanya melayani : antar sirih pinang atau “bui mat” dalam hal ini melayani undangan atau “tuwalo”. Kaum perempuan juga dikenal dengan “ dapur wal” atau tukang dapur.
Kedudukan perempuan secara hukum adat suku kaera desa Bunga Bali sangat tidak seimbang artinya hak perempuan tertindas dengan kekuatan hukum adat. Perempuan dinomorduakan, peran perempuan dibatasi haknya. Ada istialah “ ing umukh walo, ing nabla wang tutuk chowo?. Ing na wad nukh wang pini di, egu egat am geg. Tarang-tarang di ing  damang getlah tamiso. Artinya “ kalian perempuan, apa yang bisa kalian omong? Sebaik apapun, setinggi apapun pekerjaanmu, itu milik keluarga lain dan itu tidak bisa membantu keluarga kami. Apapun peran perempuan, setinggi apapun pekerjaan, perempuan tetap terpaku di tungku dapur”.
Perempuan secara adat kaera tidak dijinkan untuk  dicontohi, karena hal itu hanya bisa melecehkan kaera mengecilkan martabat laki-laki dalam keluarga. Keluarga suku kaera akan merasa gengsi jika mengikuti apa yang disarankan oleh perempuan.
Penulis mengamati bahwa masalah ini menimbulkan ketidak adilan kesejahtraan kaum laki-laki dan perempuan, maka penulis tertarik melakukan penelitiaan ilmiah tentang bagaimana ketidakadilan dalam menghadapi persoalan ini. Untuk itu penulis kemas dalam judu KEDUDUKAN KAUM PEREMPUAN DALAM HUKUM ADAT SUKU KAERA – ABANGIWANG (Studi kasus Di Suku Chaera Abangiwang Desa Bunga Bali Kecamatan Pantar Timur Kabupaten Alor, Tahun 2016/2017) .
          B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana kedudukan perempuan dalam hukum adat suku Kaera kampung Abangiwang suku Kaera  di Desa Bunga Bali  kecamatan Pantar Timur kabupaten Alor dan upaya pemerintah untuk merubah pola pikir masyarakat akan pentingnya kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan?




           C.    TUJUAN DAN KEGUNAAN
  1. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan ini sebagai berikut:
1. Untuk mencari tahu mengapa suku kaera Abangiwang menganggap peran perempuan tidak terlalu penting atau menomorduakan kaum perempuan di mata hukum adat suku kaera
2. Untuk mencari tahu apakah ada pengaruh adat suku kaera terhadap warisan perempuan
3.  Untuk mencari tahu apakah ada upaya pemerintah untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap pentingnya kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan
4. Untuk mencari tahu apakah ada perubahan yang terjadi saat diadakannya pembianaan terhadap pentingnya kedudukan  antara anak laki-laki dan perempuan

  1. Kegunaan
Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut :
1.  Sebagai bahan informasi bagi pihak jurusan tentang kondisi adat yang berkembang di masyarakat
2.  Untuk memberikan sumbangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sosial budaya dalam kaitannya dengan kedudukan perempuan menurut hukum adat
3. Sebagai informasi bagi para majelis lebih berperan menyuarakan kenabian terhadap ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat khusus Desa Bunnga Bali Kecamatan Pantar Timur Kabupaten Alor
4.  Sebagai bahan informasi budaya bagi generasi yang akan datang termasuk para peniliti selanjutnya.









 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    HAK-HAK PEREMPUAN
Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang perempuan terkadang mendapatkan diskriminasi dan anggapan sebelah mata atas dirinya. Diskriminasi dapat terjadi baik dalam kehidupan pekerjaan, keluarga (antara suami dan istri), hingga kehidupan yang dilaluinya dalam masyarakat. Dengan adanya diskriminasi inilah maka kemudian banyak pihak terutama perempuan sendiri menyadari pentingnya mengangkat isu hak perempuan sebagai salah satu jenis HAM[1] yang harus dapat diakui dan dijamin perlindungannya. Adanya kesadaran ini maka kemudian perlu diketahui terlebih dahulu dengan apa yang dimaksud dengan hak asasi perempuan.
Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. System hukum tentang hak asasi manusia yang dimaksud adalah system hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat dalam sistem hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat pengaturan tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal ini dapat dijadikan dasar sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak perempuan.
Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan jenis-jenis hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tersebut. Jenis hak-hak perempuan yang ada, antara lain:
1.       Hak-Hak Perempuan di Bidang Politik
Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang politik, antara lain :
a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.
b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentukan wakil rakyat di pemerintahan
c. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik negara tersebut.

Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik tersebut dapat ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa yang umum dalam Pasal 21 DUHAM[2] butir 1 dan 2, Pasal 25 ICCPR,. Sedangkan dasar hukum yang lebih khusus menyebutkan hak-hak perempuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 7 dan 8 CEDAW[3], Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan.
Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan tersebut dapat pula ditemukan dalam instrumen nasional kita. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : “sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.
Berdasarkan pandangan di atas penulis berasumsi bahwa perlu diadakan pembinaan terhadap masyarakat suku kaera menyangkut dengan kedudukan perempuan mestinya sama dan sederajat berdasarkan hak asasi manusia, undang-undang dan jugan hukum Tuhan melalui Alkitab. Masyarakat kaera perlu dinasihati biasa dalam istilah “ wom geno” , disadarkan dengan ayat-ayat Alkitab yang mendukung atau sur tenau / sur mosoing”  
Menurut pendapat penulis, melalui pemahaman-pemahan tersebut dengan sendirinya masyarakat akan terus sadar akan pemahaman bahwa ternyata kedudukan perempuan dan laki-laki sama dihadapan hukum dan dihadapan Allah.

2.      HAK-HAK PEREMPUAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM
Sebelum dikenalnya hak-hak atas perempuan dan keberadaan perempuan yang sederajat dengan pria, perempuan selalu berada di bawah kedudukan pria. Hal ini seringkali terlihat terutama pada keadaan dimana perempuan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan persetujuan atau di bawah kekuasaan pria. Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran bagi para perempuan bahwa setiap perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki di mata hukum, sehingga kemudian muncul salah satu hak perempuan lainnya yang diakui baik di tingkat internasional maupun nasional.
Dasar hukum dalam instrumen internasional atas hak-hak perempuan ini secara umum dapat ditemukan dalam Pasal 7 DUHAM, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan secara khusus dalam Pasal 2 dan 15 CEDAW. Dalam instrument nasional dasar hukum atas hak-hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 50 UU HAM yang berbunyi “wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.
Sehubungan dengan jaminan atas hak-hak perempuan yang berhubungan dengan hukum dan masyarakat, terdapat beberapa permasalahan yang menimpa perempuan di Indonesia diantaranya
1. Kekerasan terhadap perempuan
2. Perempuan sebagai korban perkosaan
3. Perempuan sebagai pekerja seks komersial dalam praktek prostitusi
4. Perempuan dan aborsi
5. Perempuan dan pornografi dan pornoaksi
6. Perdagangan perempuan
                 
     Menurut pendapat penulis apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan perlu ditindaklanjuti sebagai ajang proses pembelajaran hukum. Penanganannya melalui proses persuasif melalui pendekatan. Melalui pendekatan perlu adanya pembinaan dan pemberitahuan terhadap tindakan yang melanggar hukum, dan imbasnya akan berurusan dengan hukum. Jika tidak direspon dan terus menurus terjadi pelanggaran maka pembelajaran yang terus dilakukan adalah menyerahkan hal tersebut kepada pihak hukum yang berwewenang.

3.      HAK-HAK PEREMPUAN DALAM IKATAN /PUTUSNYA PERKAWINAN
Dalam sebuah perkawinan adakalanya dimana pasangan suami istri terpaksa harus melakukan perceraian atau yang disebut dengan putusnya perkawinan. Atas putusnya perkawinan ini setiap pihak dari perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang sama terutama jika atas perkawinannya menghasilkan anak-anak. Selain itu kedua belah pihak juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat bagian harta bersama dengan persentase yang adil.
Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 16 butir (c) sampai dengan butir (g) CEDAW. Dan dalam instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU HAM yang berbunyi sebagai berikut :
(2) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak”.
(3) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
                   Menurut tanggapan suku Kaera ketika perempuan di lepas ke suku lain maka semua yang berhubungan dengan warisan sudah tidak menjadi hak perempuan tersebut. Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan alkitab dan hukum.
                   Menurut pendapat penuli, perkawinan merupakan hal yang tidak terlepas dari kedudukan perempuan. Perempuan akan menjadi terhormat apabila menjadi simpatisan laki-laki. Sangat menjadi sebuah pertanyaan besar apabila dalam kehidupan perempuan sampai pada usia pernikahan tidak mendapat seseorang laki-laki.Perempuan yang menikah sebaiknya diberi pemahaman yang kuat, dibekali secara matang agar dapat bergumul melalui tindakan, dan juga terus berdoa agar rumah tangganya dapat terhindar dari kasus perceraian, karena hal tersebut juga akan mengganggu kedudukan perempuan.
                   Menurut pandangan masyarakat suku kaera, laki-laki terus ditekankan atau dinasehati oleh orang tua untuk menghindari, menrut istilah suku kaera “ pagang suai” artinya menghindari perempuan”tidak perawan”. Ikatan dalam suatu perkawinan menurut suku kaera adalah “tuampino” perkawinan. Dalam hal ini “lekatan atau ikatan yang tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan aleh situasi dan kondisi apapun.
                   Menurut pandangan penulis, perempuan yang gadis terus dinasehati untuk menjaga harga dirinya, sekali menikah untuk selamanya, sampai maut yang memisahkan.
4.      Hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan
Hak perempuan dalam bidang ini adalah terkait dengan adanya hak-hak perempuan sebelum, sesaat dan sesudah bekerja. Terkait dengan kasus yang terjadi pada Siti Hajar, maka pelanggaran atas haknya  dilakukan oleh majikannya di saat ia bekerja. Pelanggaran hak yang dilakukan majikannya terkait dengan hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan adalah tidak adanya pembayaran gaji terhadap Siti Hajar setelah 34 bulan bekerja kepada majikannya.
Hal ini tentunya bertentangan dengan dasar hukum atas hak perempuan tersebut, yaitu pada Pasal 11 butir (d) CEDAW yang menyebutkan bahwa “setiap wanita dan pria mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pengupahan yang sama, termasuk semua kemanfaatan dan atas perlakuan yang sama, dalam hal pekerjaan yang bernilai sama, seperti halnya persamaan perlakuan di dalam penilaian mengenai kualitas pekerjaan”. Dengan demikian seharusnya majikan dari Siti Hajar dapat membayarkan upah yang seharusnya menjadi hak darinya. Karena atas haknya tersebut Siti Hajar telah dijamin dan diakui oleh peraturan dalam lingkup internasional.
Selain itu bila melihat instrumen hukum nasional kita, maka terkait dengan kasus Siti Hajar tersebut peraturan perundang-undangan yang terkait adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana pada Pasal 88 ayat (1) disebutkan bahwa ”setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan kata lain setiap pekerja baik itu laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan imbalan atas pekerjaannya dalam bentuk gaji. Pembayaran upah atau gaji ini tentunya merupakan kewajiban dari pengusaha/ majikan sebagai pihak yang memperkerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan dari keberadaan mereka. Sehingga sudah seharusnyalah majikan dari Siti Hajar tersebut membayar gajinya selain karena itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhinya hal tersebut juga merupakan hak dari pekerja yang harus dihormati dan dijaminkan oleh mereka.
B.     PERANAN PEREMPUAN DALAM ALKITAB
Perempuan dalam  bahasa Ibrani Isysya dalam bahasa Yunani Gune. Perempuan dan lelaki  sama-sama merupakan “gambar Allah” ;  Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (kej 1:27) dan perempuan adalah penolong yang sepadan atau rekan kerja bagi laki-laki ;  Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. (Kej 2:20).
wanita diciptakan menjadi “penolong” bagi pria. Istilah “penolong. Lebih jelas diterjemahkan dengan “ penolong yang sepadan” (Kej. 2:18). Dalam pengertian ini peran wanita sebagai penolong sangat menentukan, karena tanpa wanita, pria tidak dapat mewujudkan dirinya sepenuhnya.
Dalam hukum Ibrani perempuan/ibu harus dihormati ; Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Kel 20:12), disegani; Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya dan memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN, Allahmu. (Imamat 19:3). Perempuan bertanggung jawab dan memegang peranan penting dalam kehidupan keluarga mereka.Dalam hal pertalian, baik laki-laki maupun perempuan, korban yang diberikan sama. Perempuan/ibu menghadiri pertemuan agamawi untuk ibadah, dan membawa persembahan korbannya. Dan juga perempuan pada hari sabat dibebaskan dari pekerjaannya ; tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (Kel 20:10)
Jadi sejak dari permulaan manusia sudah diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama ahli waris baik sebagai citra ilahi maupun pengasa atas bumi.
Menurut masyarakat suku kaera perempuan adalah bagian laki-laki yang tidak terpisahkan dengan istilah “ pikhas dano, pikiri wal” bagian sebelah dari diri kita, tulang rusuk kita.
Dari pandangan di atas, penulis menyimpulkan bahwa perempuan adalah orang akan menemani laki-laki.
C.    PERANAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA
            Perempuan dalam  bahasa Ibrani Isysya dalam bahasa Yunani Gune. Perempuan dan lelaki  sama-sama merupakan “gambar Allah” ;  Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (kej 1:27) dan perempuan adalah penolong yang sepadan atau rekan kerja bagi laki-laki ;  Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. (Kej 2:20).
wanita diciptakan menjadi “penolong” bagi pria. Istilah “penolong. Lebih jelas diterjemahkan dengan “ penolong yang sepadan” (Kej. 2:18). Dalam pengertian ini peran wanita sebagai penolong sangat menentukan, karena tanpa wanita, pria tidak dapat mewujudkan dirinya sepenuhnya.
Dalam hukum Ibrani perempuan/ibu harus dihormati ; Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu. (Kel 20:12), disegani; Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya dan memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN, Allahmu. (Imamat 19:3) . Perempuan bertanggung jawab dan memegang peranan penting dalam kehidupan keluarga mereka.Dalam hal pertalian, baik laki-laki maupun perempuan, korban yang diberikan sama. Perempuan/ibu menghadiri pertemuan agamawi untuk ibadah, dan membawa persembahan korbannya. Dan juga perempuan pada hari sabat dibebaskan dari pekerjaannya ; tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu. (Kel 20:10)
Namun kesepadanan yang asli itu menjadi rusak oleh kejatuhan manusia dala dosa. Sebagian hukuman yang dijatuhkan Allah atas ketidak taatan leluhur kita, ialah firman-Nya kepada perempuan: “Engkau akan birahi kepada suami dan ia akan berkuasa atasmu”. (Kej 3:16b)
Dan kenyataan inilah yang dimanfaatkan lelaki dalam menindas perempuan.
Ø  Ester adalah perempuan yang menyelamatkan bangsa Israel dari kebinasaan
Ø  Miryam perempuan sebagai nabi (Kel. 15:20), Debora (Hakim-hakim 4)
Ø  Sifra dan Pua  adalah bidan yang dipakai Allah menyelamatkan anak-anak                              (Kel 1:25-21)
Ø   Perempuan sebagai pemimpin dan hakim, seperti Miryam (Kel. 15:21) dam Debora (Hakim-akim 4-5)
Ø  Rut adalah perempuan yang berani mengambil suatu keputusan (Rut 1:16)
Ø  Hana adalah perempuan yang gigih (1 Sam. 1 :1-2 )
Dalam Perjanjian Baru, kembali kesepadanan antara laki-laki dan perempuan  dipulihkan. Sebab Allah akan mencurahkan Roh-Nya ke dalam diri Anak-Nya dan tidak ada lagi pendiskualifikasian berdasarkan gander/jenis kelamin.
*      Perempuan dipakai  oleh Allah sebagai sarana kedatangan jru selamat, yaitu melalui maria (Mat. 1:18-25 ; Luk. 2:1-7)
*      Perempuan dan laki-laki disebut yang benar di hadapan Allah (Luk. 1:5-6)
*      Perempuan sebagai pelayan, sibuk melayani makanan dan minuman seperti Martha (Luk. 10:40)
*      Perempuan beroleh kesempatan untuk mendengarkan pengajaran Yesus sebagaimana layaknya murid-murid Yesus yang semuanya laki-laki. Yesus menyebut tindakan Maria dari Baitani (Luk. 10: 39,42) sebagai  yang telah memilih bagian terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.
*      Perempuan yang melayani seperti Maria Magdalena, Yohana, dan Susana  (Luk. 8: 1-3)
*      Perempuan yang turut hadir di ruang atas, setelah kenaikan Tuhan yesus ke surge (Kis. 1:14)
*      Perempuan sebagai saksi utama atas kebangkitan tuhan yesus, dan yang pertama meneruskan berita itu. Mreka itu adalah Maria Magdalena, Yohana, dan Maria ibu Yakobus (Mat. 28:1-8, Luk. 24:1-12, Yoh. 20:1-10)
*      Perempuan yang bekerja untuk pelayanan, dialah Maria (Rm. 16: 6)
*      Perempuan sebagai pemimpin jemaat rumah, seperti Priskila (1 Kor. 16-19)
*      Perempuan yang beribadat kepada Allah dan yang membantu tugas-tugas Paulus, dialah Lidia (Kis. 16: 14-25)
*      Perempuan yang bekerja keras  dengan bersaksi,berdoa, mengajar, dan menolong mereka adalah Trifena dan Trifosa (Rm. 16:12)
*      Perempuan sebagai nabi,dialah Hana (Luk. 2:36-38)
*      Perempuan yang banyak berbuat baik dan member sedekah, dialah Dorkas atau Tabita (Kis 9:36)
*      Perempuan sebagai pengusaha, seperti Lidia. (Kis. 16:14)

D.    HAK ASASI PEREMPUAN
Permasalahan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian tidak hanya bagi pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah, hal tersebut menjadi perhatian khusus ketika wacana reformasi akan didengungkan dan dalam perjalanan reformasi di bidang konstitusi negara Indonesia dengan proses amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dari pertama hingga keempat, muatan-muatan Hak Asasi Manusia menjadi salah satu hal yang penting untuk lebih diperjelas dalam amandemen UUD 1945 karena sebelum terjadi amandemen UUD 1945, permasalahan yang menjadi perhatian serius adalah kesewenangan negara dalam memasung hak-hak asasi warga negara karena sangat multitafsir dan banyak ditafsirkan terbatas oleh pemerintah pada saat itu dengan turunan peraturan perundang-undangan yang membatasi hak asasi warga negara  terutama dalam hak atas pekerjaan, hak berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan, jaminan kemerdekaan dalam beragama dan berkepercayaan, hak memperoleh pendidikan, dan akses terhadp sumber daya alam yang pada saat itu masih belum dipenuhi oleh hak-haknya oleh negara.
Salah satu perhatian khusus dalam perkembangan hak asasi manusia di Indonesia adalah tentang perlindungan dan pemenuhan hak asasi perempuan di Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal yang baru bahkan menjadi perhatian yang khusus sebagaimana juga dalam hal hak asasi anak.  Namun kita harus mengakui walaupun dalam dataran instrumen hukum pengakuan hak asasi perempuan telah mendapat perhatian khusus tetapi pada praktek di lapangan jauh dari yang diharapakan yang merupakan salah satu perhatian khusus dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Hak Perempuan dimana perempuan dikategorikan dalam kelompok rentan yang mendapat tempat khusus dalam pengaturan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Pada umunya pemberian hak bagi perempuan sama dengan hak-hak lain seperti yang telah disebutkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Hak-Hak Asasi Manusia namun dengan alasan tadi maka lebih dipertegas lagi. Asas yang mendasari hak bagi perempuan diantaranya hak perspefktif gender dan anti diskriminasi dalam artian memiliki hak yang seperti kaum laki-laki dalam bidang pendidikan, hukum, pekerjaan, politik, kewarganegaraan dan hak dalam perkawinan serta kewajibannya.






















BAB III
MEODOLOGI PENELITIAN
A.    LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan di desa Bunga Bali Abangiwang khususnya suku Kaera kecamatan Pantar Timur kabupaten Alor. Alasan mendasar tempat ini dijadikan sebagai lokasi penelitian karena kenyataan yang terjadi banyak perempuan yang dibatasi peran atau ruang geraknya dalam segalah lini dan bidang.
B.     OPERASIONAL KONSEP
Agar dapat memperjelas konsep dari penelitian ini , maka penulis menjelaskan konsep ini yaitu bagaimana ketidakadilan dalam menyamakan posisi laki-laki dan perempuan sebagai ciptaan Tuhan dalam komunitas masyarakat dalam kedudukan perempuan ditinjau dari adat Kaera.

KONSEP
INDIKATOR
Ketidakadilan pembagian warisan dan kedudukan perempuan marga puling menurut adat kaera suku Kaera kampung Abangiwang desa Bunga Bali kecamatan Pantar Timur Kabupaten Alor
1.1. Perempuan
2.1. Warisan dalam hal ini hak perempuan
2.2. kedudukan Perempuan
3.1. Program Pemerintah terhadap pemahaman yang tepat menyangkut gender
3.2. Seminar
3.3. Penegakan aturan Gender









C.    SUBJEK PENELITIAN DAN TEKNIK PENARIKAN SAMPLING
a.       Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek dalam penelitiasn ini adalah orang tua suku doriht yang memilki anak perempuan
b.      Populasi dan Teknik penarikan sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Kaera kaera desa bunga bali kecamatan pantar timur kabupaten alor
Sedangkan Penarikan sampel yaitu beberapa orang masyarakat suku Kaera kaera desa bunga bali kecamatan pantar timur kabupaten alor berdasarkan teknik penarikan sampel acak sebanyak  20 orang.
c.       Jenis dan sumber Data
1.      Jeni Data
Berdasarkan data dan keterangan yang dikumpulkan penulis maka jenis data ini diklasifikasikan ke dalam dua jenis data yaitu:
a.       Data Kuantitatif yaitu data yang bersifat angka-angka atau jumlah angka yang berhubungan dengan penelitian ini
b.      Data kualitatif yaitu data yang bersifat penjelasan atau keterangan-keterangan dalasm bentuk kalimat atau suku kata yang dapat dimengerti  dan tidak dilanjuti
2.      Sumber Data
a.       Data Primer yaitu data yang diambil langsung dari lembaga atau instansi dimana penulis mengadakan penelitian
b.      Data Sekunder yaitu data yang diambil langsung dari data primer seperti sejarah suku kaera desa Bunga bali
D.    METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode yang dapat memberikan informasi yang berupa data-data dan keterangan yang meliputi:
1.      Pengamatan
2.      Wawancara
3.      Dokumentasi


E.     TEKNIK ANALISIS DATA
Tekniuk analisa data yang akan digunakan adalah deskriptif kuantitatif yaitu semua data yang akan diperoleh akan dideskripsikan dengan menggunakan rumusan-rumusan dan dalam pengambilan kesimpulan akan disajikan dalam kalimat dan paragraf yang berhubungan dengan penjelasan, keterangan-keterangan yang berhubungan dengan hasil dari tujuan diadakannya suatu penelitia.



















DAFTAR PUSTAKA

Slameto.1991. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Rineka cipta: Jakarta.
  Ratih. 2003. Perempuan dan teater. Jakarta
  Michel. Kedisiplinan dan Keadilan bagi kaum perempuan. Bogor. 1997
  Nawel, 2001. Perempuan di titik Nol. Jakarta
 Brouwer. Budaya kemiskinan perempuan, Yogyakarta: 1998
 hhtp://cempebule.blogsot.co.id/2012/kekerasan-terhadap-perempuan              warisan.htm1




[1]HAM (Hak Asasi Manusia)
[2] DUHAM(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)

[3] CEDAW CDAW (Convention of Elimination of All Form of Discrimination Against Women) adalah suatu bentuk perjanjian internasional tentang perempuan yang paling komprehensip dalam upaya penghapusan segalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar