Minggu, 16 Oktober 2016

Peran Perempuam dalam pendidikan


  BAB I

PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG

Supartono (1992) menyatakan bahwa: dalam mewujudkan pembangunan nasional di bidang pendidikan , diperlukan peningkatan dan penyempurnaan pemerataan penyelenggaraan pendidikan nasional  tanpa memandang jenis kelamin, yang disesuaikan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi untuk meningkatkan mutu pendidikan guru memiliki tugas penting dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas pada bidang pendidikan oleh sebab itu para pengajar harus memikirkan dan membuat suatu perencanaan dalam meningkatkan mutu belajar bagi warga belajar meliputi; pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Banyak kejadian dalam kehidupan yang menunjukan kepincangan antara Laki-laki dan Perempuan. Dalam kondisi seperti ini dapat dipahami karena latar belakang pemikiran tentang kuasa dan kehidupan adalah berdasarkan pemikiran patriarkhal. Pemikiran tersebut telah mendasari system kemasyarakatan dan kebudayaan
Banyak pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa pada masa lalu  kedudukan seorang perempuan tidak dianggap penting. Perempuan selalu tidak diperhitungkan keberadaannya. Kedudukan lelaki adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior atau dengan kata lain laki-laki dianggap sebagai kepala atau menentukan segala sesuatu dalam masyarakat sedangkan perempuan diposisi bawah yang hanya mendengar dan melakukan apa yang laki-laki perintahkan. Hal ini karena budaya patriakhal yang dianut oleh masyarakat sangat dominan.
Kebudayaan Kaera kampung Abangiwang suku Dorit ketidakadilan pembagian harta atau warisan merupakan tradisi yang tidak bisa ditinggalkan. Ketidakadilan pembagian harta warisan dalam masyarakat Kaera kampung Abangiwang suku Dorit didasarkan pada keturunan patrilinear dimana anak Laki-laki sulung yang memperoleh harta paling besar . Hal ini didasarkan pada pemahaman Kaera kampung Abangiwang suku Dorit :
·         Anak laki-laki pertama yang akan memberi keturunan pertama bagi keluarga
·         Anak laki-laki pertama yang akan menggantikan posisi bapak atau biasanya dalam masyarakat Kaera kampung Abangiwang suku Dorit anak Laki-laki pertama dikenal dengan sebutan “Sohkit atau tei er”
·         Anak laki-laki pertama yang akan bertanggung jawab untuk mengurus adik-adiknya
Beberapa hal yang disebutkan di atas yang mendasari pemikiran orang Kaera kampung Abangiwang suku Dorit dalam pembagian warisan. Sedangkan yang menjadi alasan mengapa anak Perempuan tidak mendapat warisan sekalipun anak Perempuan sulung dalam keluarga karena anak perempuan tidak akan memberi keturunan bagi keluarga Puling, perempuan akan menikah dengan Laki-laki dari Keluarga lain.
Sesuai adat suku Dorit, anak laki-laki adalah ahli waris yang menerima pusaka baik itu peninggalan dari nenek moyang maupun hasil keringat orang tuanya, sedangkan anak perempuan tidak mendapat warisan. Dengan demikian terjadi kecemburuan sosial dalam keluarga.
Kedudukan anak laki-laki biasanya ketika baru lahir biasanya dengan sebutan “Shokit” . Shokit   biasanya digunakan untuk mengisi tembakau , biasa juga tempat untuk isi tembakau ketika melangkah keluar untuk mencari nafkah di laut ataupun di kebun.  Hal ini berimplikasi pada dasar pemikiran “tempat atau tumpuan harapan bagi kelanjutan harapan suku/keluarga.  Ketika anak laki-laki bisa mampu berbuat positif  sesuai dengan harapan dan juga baik itu secara langsung maupun tidak langsung laki-laki tersebut menjadi tumpuan harapan bagi keluarga maka sebutannya beruba status dari Shokit menjadi tei er.  Sebutan tei er biasanya paling populer ketika dalam urusan adat, sering sebutan tei er nampak dari keluarga yang menerima hadirnya perempuan kepada saudara laki-laki dari pihak laki-laki yang melepaskan saudara perempuan untuk menikah dengan pihak yang menyebutkan hal tersebut ( yang menyebut tei er ). Kedudukan laki-laki juga biasa disebut “abang menakh” artinya orang yang bakal memiliki kampung atau penerus atau penjaga daerah kekuasaan pada daerah kekuasaannya singkatnya penjaga dan penerus suku. Hal tersebut adalah sebuah kaidah adat yang nilai pemahamannya sulit diubah sampai efeknya merambat pada dunia pendidikan imbasnya juga menyelewang pada penegakan keadilan.
Sesuai adat suku kaera, anak Laki-laki adalah ahli waris yang menerima pusaka baik itu peninggalan dari nenek moyang maupun hasil keringat orang tuanya, sedangkan anak perempuan tidak mendapat warisan. Dengan demikian terjadi kecemburuan sosial dalam keluarga.
Kenyataan yang terjadi di Desa Bunga Bali adalah anak perempuan kebanyakan kurang mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena adanya paham Patriakhal
Di Desa Bunga Bali, penulis  temukan masalah pembagian harta warisan yang tidak seimbang antara anak laki-laki dan anak Perempuan. Ketika seorang anak Perempuan dalam masyarakat Bunga Bali belum menikah seluruh tanggungjawab diambil alih oleh Ayah dan Ibu.
Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Bunga Bali untuk menangani masalah ini adalah melalui ceramah baik secara formal maupun non formal telah dilakukan pembinaan yang menyangkut pentingnya pendidikan terhadap kaum perempuan. Pemerintah setempat telah bekerja sama dengan pemerintah kecamatan Pantar Timur mengadakan pembinaan melalui wadah perkawinan Adat namun masyarakat belum juga menyadari sepenuhnya akan kesetaraan antara laki- laki dan Perempuan dalam masyarakat khususnya dalam keluarga kaera, oleh karena itu pemerintah yang menjadi tokoh Adat yang sangat menekankan paham patriakhal yang kental dan kaku. Maksudnya jika seseorang mengurus anak perempuan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maka dianggap belum dewasa pikirannya karena anak laki-lakinya saja belum bisa diurus apalagi anak perempuan yang statusnya akan bergabung pada keluarga lain saat menikah.
Masih banyak tokoh adat yang memegang teguh budaya patriakal sehingga pendidikan anak laki-laki bila dibandingkan dengan pendidikan anak perempuan karena perempuan dianggap sebagai orang yang selalu mengurus proses makanan bagi keluarga / kerjanya berurusan di dapur. Jika terjadi penekanan terhadap seorang perempuan yang dalam usia sekolah , misalnya saat jam belajar perempuan tersebut kerja di dapur  akan berdampak pada limit waktu untuk belajar. Hal ini mengakibatkan perempuan tersebut sulit berkembang dalam dunia pendidikan.
Penulis mengamati bahwa masalah ini menimbulkan ketidak adilan kesejahtraan kaum laki-laki dan perempuan, maka penulis tertarik melakukan penelitiaan ilmiah tentang bagaimana ketidakadilan dalam menghadapi persoalan ini. Untuk itu penulis kemas dalam judul “PENDIDIKAN ANAK PEREMPUAN DAN PERAN PEREMPUAN MENURUT ADAT SUKU KAERA – ABANGIWANG DIKAJI DARI SISI ALKITABIAH” (Studi kasus Di Jemaat Yedidyah Abangiwang Klasis Pantar Timur Kabupaten Alor, Tahun 2016/2017) .









B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana status anak dalam bidang pendidikan dalam pandangan adat suku dorit dan pengaruh adat Kaera kampung Abangiwang suku Dorit  terhadap pendidikan anak perempuan di Desa Bunga Bali  kecamatan Pantar Timur kabupaten Alor dan upaya pemerintah untuk merubah pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan?
C.    TUJUAN DAN KEGUNAAN
  1. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan ini sebagai berikut:
1.      Untuk mencari tahu mengapa orangtua lebih berfokus mengurus anak laki-laki ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sementara anak perempuan kebanyakan hanya sebatas tingkat sekolah dasar
2.      Untuk mencari tahu apakah ada pengaruh adat suku kaera terhadap pendidikan anak perempuan
3.      Untuk mencari tahu apakah ada upaya pemerintah untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap pentingnya pemerataan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan
4.      Untuk mencari tahu apakah ada perubahan yang terjadi saat diadakannya pembianaan terhadap pentingnya pemerataan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan

  1. Kegunaan
Adapun kegunaan dari penelitian ini sebagai berikut :
1.      Sebagai bahan informasi bagi pihak jurusan tentang kondisi adat yang berkembang di masyarakat
2.      Untuk memberikan sumbangan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sosial budaya dalam kaitannya dengan hubungan ilmu pendidikan dan Pemerintahan
3.      Sebagai informasi bagi para majelis lebih berperan menyuarakan kenabian terhadap ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat khusus Desa Bunnga Bali Kecamatan Pantar Timur Kabupaten Alor
4.      Sebagai bahan informasi budaya bagi generasi yang akan datang termasuk para peniliti selanjutnya.


D.      KERANGKA BERPIKIR
Gambar 1.
Kerangka Pemikiran


 




















DAFTAR PUSTAKA
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rineka Cipta: Jakarta.
            Magnis Suseno,Etika Dasar,Kanisius,Jogyakarta
Ninu , Alex.2000.Bahan Ajar ISBD.Kupang
Nawal, 2001. Perempauan di titik Nol.Jakarta
Aloliliweri. 2002 .Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya.Pustaka Belajar:  Kupang
            Ratih.2003.Perempuan dan teater.Jakarta
Tedjoworo. Imaji dan Imajinasi :suatu Telaah Filsafat Posmodern, Yogyakarta: kanisius, 2001
Brouwer. Budaya Kemiskinan Perempuan, Yogyakarta: 1998
Ediyanti.  Kepribadian dan kemampuan Seseorang untuk berkembang,         Jakarta : 2005
Besie, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, Kupang: 2010
Arikunto, suharismi,1987, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta. Jakarta
Leksi, J. Maloeng, 1991. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya
Muhadjir, Noeng, 1989. Metode Penelitian Kualitatif, Rake Sarasi. Yogyakarta
Michel. Kedisplinan dan Keadilan bagi kaum Perempuan. Bogor. 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar